Bangka Barat — Suasana Perairan Tembelok, Kecamatan Mentok, Bangka Barat, kembali ramai oleh aktivitas tambang laut. Puluhan ponton dan TI user beroperasi dalam skala besar sejak akhir pekan lalu. Namun yang mengundang perhatian bukan sekadar jumlah tambang liar, melainkan praktik transaksi jalanan kelompok Jono, kolektor timah asal Parittiga, yang membeli pasir timah dari penambang dengan harga mencengangkan, mencapai Rp170 ribu hingga Rp180 ribu per kilogram.
Praktik yang disebut warga sebagai “cegat jalan” ini memunculkan perdebatan keras. Sebagian penambang kecil merasa diuntungkan karena harga tinggi mendongkrak penghasilan. Tetapi angka tersebut jauh melampaui harga pasaran normal yang berkisar Rp40 ribu hingga Rp140 ribu per kilogram. Situasi itu dinilai sebagai cara mengacaukan mekanisme pasar, sekaligus strategi untuk menggeser kolektor lain. Seorang warga yang enggan disebutkan namanya menuturkan, “Boceng anak buah pulang dari laut dicegat, langsung ditawar tinggi. Tapi saya sudah ada pembeli.”
Nama Jono sudah lama beredar dalam pusaran perdagangan timah di Bangka Barat. Ia pernah dikaitkan dengan jaringan besar kolektor, meski keterhubungannya kini belum jelas. Saat dikonfirmasi, ia tak membantah peran anak buahnya. “Iya Bang, tolong dibantu,” jawabnya singkat.
Yang menarik, pola tambang di Tembelok kali ini berjalan berbeda. Tidak terlihat peran cukong besar atau koordinator yang biasanya membiayai operasi. Semua murni diatur warga dan nelayan dengan sistem bagi hasil. Sebagian hasil tambang, sekitar seperempat, disisihkan untuk kebutuhan kampung sebagai kompensasi sosial agar aktivitas tetap mendapat restu masyarakat. Meski begitu, harga fantastis yang ditawarkan jelas tidak sebanding dengan biaya operasional. Seorang pemain lama menilai tawaran itu lebih menyerupai siasat untuk menguasai pasar.
Di luar perdebatan harga, fakta hukum tidak bisa disembunyikan. Seluruh kegiatan di Tembelok jelas tergolong tambang ilegal. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba menegaskan bahwa setiap penambangan dan perdagangan timah wajib berizin. Pasal 158 menyebut pelaku usaha tanpa IUP, IPR, atau IUPK terancam pidana maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Dengan begitu, penambang liar maupun kolektor jalanan sama-sama berada dalam lingkaran pelanggaran.
Meski tambang ilegal sempat menghidupkan kembali warung, pedagang, dan usaha kecil di Mentok, dampak jangka panjangnya jauh lebih suram. Laut rusak, nelayan tradisional terganggu, dan negara dirugikan. Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, bukan hanya pasar timah yang kacau, melainkan kewibawaan hukum pun runtuh. Aparat dituntut bertindak lebih dari sekadar razia seremonial. Sebab tanpa penegakan yang konsisten, hukum akan menjadi sekadar papan nama di jalanan yang dilewati truk-truk timah ilegal. (MK/*)