Merawang, Bangka — Deru mesin tambang kembali menggema di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jade Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Sejak beberapa hari ini, puluhan unit mesin TI tampak kembali beroperasi bebas di tengah aliran sungai, seolah hukum dan larangan pemerintah tak lagi berarti di wilayah itu. Rabu (8/10/2025).
Dari hasil penelusuran tim media, kegiatan ini disebut-sebut berada di bawah kendali dua sosok kunci: Cn, koordinator lapangan yang kerap mengaku wartawan, serta Kml, penampung hasil tambang yang disebut memiliki jejaring luas di kawasan Merawang.
Menurut sejumlah sumber, Cn berperan menjaga komunikasi antara penambang dan pihak luar agar aktivitas tetap berjalan mulus. “Dia sering minta pemberitaan jangan dulu tayang, katanya supaya situasi aman,” ungkap seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Hasil tambang kemudian disalurkan kepada Kml, yang dikenal di kalangan penambang sebagai kolektor berpengaruh. Skema ini diyakini sudah berlangsung lama dan melibatkan sejumlah pihak yang memilih menutup mata atas kegiatan ilegal tersebut.
Pantauan di Lapangan
Berdasarkan pengamatan langsung awak media, seperti tampak dalam foto di atas, barisan unit mesin memenuhi hampir seluruh tepian perairan Jade Bahrin. Puluhan pekerja tampak sibuk mengoperasikan mesin penyedot timah, sementara air sungai berubah keruh akibat endapan lumpur hasil pengerukan. Aktivitas itu berlangsung tanpa pengawasan berarti dari aparat maupun instansi terkait.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai ketegasan aparat penegak hukum, khususnya Polres Bangka, yang memiliki yurisdiksi di wilayah Merawang. Hingga berita ini diterbitkan, belum tampak adanya langkah konkret dari pihak kepolisian untuk menertibkan atau menutup aktivitas tambang ilegal tersebut.
Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dengan jelas menyebutkan bahwa setiap kegiatan pertambangan tanpa izin merupakan tindak pidana dengan ancaman penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Selain itu, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan ancaman pidana bagi siapa pun yang merusak ekosistem sungai. (MK/*)