Bersama YKAN, Pemprov Babel Gagas Program Serumpun Sebalai untuk Konservasi Mangrove Berbasis Ekonomi Biru

Pangkalpinang, matakasus.com — Hutan mangrove di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) memiliki nilai ekologis dan ekonomi yang sangat penting. Selain menyimpan keanekaragaman hayati, ekosistem mangrove juga menopang kehidupan masyarakat pesisir melalui hasil laut bernilai tinggi seperti kepiting, udang, ikan kerapu, hingga kerang-kerangan yang menjadi bagian dari kuliner khas Nusantara.

Menyadari potensi sekaligus tantangan pengelolaan ekosistem pesisir, Pemerintah Provinsi Kepulauan Babel menggagas program konservasi bertajuk Serumpun Sebalai Babel, berkolaborasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan Yayasan Tahija. Program ini diharapkan mampu memperkuat upaya perlindungan, pemanfaatan berkelanjutan, sekaligus pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan mangrove.

Staf Ahli Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan Pemprov Babel, Eko Kurniawan, mewakili Gubernur Hidayat Arsani saat membuka Lokakarya Rencana Aksi Konservasi Pengelolaan Mangrove di Aston Emidary Bangka Hotel & Conference, Selasa (26/8/2025), menegaskan bahwa pengelolaan mangrove merupakan bagian dari implementasi kebijakan Ekonomi Biru yang tengah diarusutamakan Pemprov Babel.

“Konsep ekonomi biru menekankan pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian ekosistem. Pengelolaan mangrove menjadi strategi penting dalam restorasi pesisir, penurunan emisi gas rumah kaca, sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir,” jelasnya.

Eko juga mengapresiasi langkah YKAN dan Yayasan Tahija dalam mendorong kolaborasi lintas sektor. Menurutnya, penyusunan rencana aksi konservasi harus melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, sektor swasta, hingga kelompok masyarakat. “Harapannya, rencana aksi ini dapat segera diimplementasikan sehingga manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat dan lingkungan,” tambahnya.

Ketua Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Babel, Elly Rebuin, menyoroti kondisi mangrove di beberapa wilayah Babel yang masih menghadapi kerusakan akibat tambang timah, abrasi pantai, serta tekanan lingkungan lainnya. Ia menegaskan pentingnya langkah rehabilitasi yang terukur dan berkesinambungan.

“Dengan adanya dukungan program ini, kami menargetkan dalam lima tahun ke depan setidaknya 70 persen kawasan mangrove yang rusak dapat dipulihkan. Hal ini bukan hanya soal menjaga lingkungan, tetapi juga memastikan keberlanjutan sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup masyarakat,” ungkap Elly.

Melalui sinergi multipihak, Pemprov Babel optimistis program Serumpun Sebalai Babel akan menjadi tonggak baru dalam pengelolaan mangrove yang lebih berkelanjutan, sekaligus menjadikan provinsi kepulauan ini sebagai contoh implementasi nyata dari pembangunan berbasis ekonomi biru di Indonesia. (MK/*)