Bisnis Gelap Pasir Timah di Sungai Selan: Jejak Kolektor Bernama Kasandra

Bangka Tengah — Aktivitas perdagangan timah ilegal kembali mencuat di Desa Keretak, Dusun Air Hitam, Kecamatan Sungai Selan. Sebuah rumah yang diduga milik seorang kolektor bernama Kasandra diduga menjadi pusat transaksi timah ilegal. Dari hasil penelusuran Tim 9 Jejak Kasus pada Senin (15/9/2025), rumah tersebut tampak ramai didatangi penjual pasir timah.

Seorang sumber terpercaya menyebut, Kasandra bukan pemain baru dalam bisnis ini. Ia disebut mampu mengumpulkan hingga lima ton timah mentah setiap pekan dari berbagai tambang rakyat ilegal di wilayah sekitarnya. Jumlah sebesar itu mengindikasikan adanya jaringan yang rapi dan terorganisir, jauh melampaui skala aktivitas tambang kecil. “Kasandra sudah lama menjalankan bisnis ini, tapi tidak pernah tersentuh aparat,” ujar sumber tersebut.

Upaya konfirmasi langsung ke rumah Kasandra berujung pada penolakan keras. Orang tua Kasandra menolak memberi keterangan, bahkan membentak awak media yang datang untuk meminta penjelasan. Sikap defensif itu justru memperkuat dugaan bahwa praktik ilegal memang tengah berlangsung di rumah tersebut.

Fenomena seperti yang terjadi di Desa Keretak sejatinya termasuk dalam kategori pelanggaran serius yang kini menjadi target Satuan Tugas (Satgas) Nanggala PT Timah Tbk. Satgas ini dibentuk untuk memberantas aktivitas pertambangan dan perdagangan timah ilegal, terutama yang melibatkan kolektor besar di Bangka Belitung. Dalam pernyataan publiknya, Ketua Satgas Mayjen (Purn) TNI Handy Geniardi menegaskan bahwa kolektor ilegal merupakan salah satu sasaran utama penindakan, karena merekalah simpul yang menampung timah dari tambang-tambang ilegal.

Direktur Utama PT Timah, Restu Widiyantoro, bahkan menyebut para kolektor timah ilegal sebagai “musuh bersama” yang harus diberantas. Namun ia juga mengakui pemberantasan tidak mudah, sebab kerap ada dukungan atau pembiaran dari pihak-pihak di luar kewenangan PT Timah maupun Satgas. Situasi ini membuat keberadaan kolektor seperti Kasandra justru seolah kebal hukum.

Aktivitas perdagangan timah ilegal yang dijalankan kolektor seperti Kasandra berpotensi menabrak sejumlah aturan hukum.

1. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba

Pasal 158 menegaskan, siapa pun yang melakukan kegiatan usaha penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Aktivitas pengumpulan dan jual beli timah tanpa izin jelas termasuk dalam kategori ini.

2. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 98–99 mengatur ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar bagi kegiatan yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Tambang ilegal yang menyuplai timah ke kolektor umumnya tidak memiliki izin lingkungan dan meninggalkan kerusakan ekosistem.

3. KUHP Pasal 55–56

Setiap orang yang turut serta, membantu, atau melindungi tindak pidana dapat ikut dipidana. Hal ini mencakup dugaan keterlibatan pihak yang membiarkan praktik ilegal tetap berjalan.

4. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Jika terbukti ada aliran dana berupa “upeti” kepada aparat, maka dapat dijerat sebagai tindak pidana korupsi berupa suap atau gratifikasi, dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara.

Ujian Penegakan Hukum

Kasus Kasandra menunjukkan betapa rumitnya praktik perdagangan timah ilegal di Bangka Belitung. Kolektor besar menjadi simpul utama aliran timah dari tambang rakyat ilegal ke pasar gelap, sementara aparat di lapangan sering kali dianggap abai atau bahkan diduga melindungi.

Di sinilah peran Satgas Nanggala PT Timah dan aparat penegak hukum diuji. Aktivitas kolektor ilegal seperti Kasandra bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan kejahatan terorganisir yang menggerogoti sumber daya negara, merusak lingkungan, dan melemahkan wibawa hukum.

Sampai berita ini diturunkan, pihak awak media masih berupaya melakukan konfirmasi kepada Kapolres Bangka Tengah AKBP Dr. I Gede Nyoman Bratasena, S.I.K., M.I.K. Namun hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi yang diperoleh. (MK/**)