Bangka Belitung (15/10/2025) – Prostitusi online yang kian marak. Hubungan sesama jenis yang semakin menyeruak. Tuntutan sosial yang begitu kejam bagi anak muda hingga membuat sebagian dari mereka terpaksa menawarkan jasa seksual.
Fenomena ini seolah tak pernah habis dibedah untuk menemukan benang merahnya. Seakan pengetahuan dikutuk untuk tidak mampu menyelesaikannya.
Ditambah lagi dengan slogan “dak kawa nyusah” yang kini bak rempah dan garam bagi status sosial. Ia menjadi bumbu sehari-hari dalam masyarakat yang tampak pasrah terhadap peradaban yang lamban memaknai dirinya sendiri.
Kali ini, penulis ingin menyajikan sebuah angka prediktif kepada pembaca. Berdasarkan metode proyeksi regresi linear yang diperkenalkan Sir Francis Galton pada tahun 1911, tiga tahun ke depan Kota Pangkalpinang diperkirakan akan memiliki 390 penderita baru HIV/AIDS.
Teori Galton mencoba menjangkau masa depan melalui data empiris. Matematika, dalam hal ini, bukan sekadar angka—melainkan cermin untuk membuka ruang diskusi yang terukur dan disiplin. Tujuannya bukan mencari benar atau salah, melainkan membangun empati agar kita dapat mendekati persoalan ini secara rasional.
Penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas seksual ini belum memiliki obat. Ia menunggu tubuh kering dan melemah sebelum akhirnya malaikat merobek nadi dan menghentikan napas manusia. Tiga ratus sembilan puluh jiwa bukanlah angka kecil. Rata-rata, setiap tahun hampir seratus orang tertular di kota sekecil Pangkalpinang.
Kota ini hanya memiliki luas 104 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 244.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, 48.000 orang merupakan kelompok usia muda—usia produktif untuk beraktivitas sosial.
Bayangkan, ada 828 orang dari 48.000 itu yang mengidap HIV/AIDS.
Setiap individu di kota ini, secara matematis, menempati ruang hidup seluas 20 kilometer persegi—termasuk para penderita HIV di dalamnya. Artinya, setiap hari kita berpapasan dengan mereka: di jalan, di tempat kerja, di pasar, bahkan mungkin dalam lingkaran pertemanan kita sendiri.
Kita hidup bersama, tertawa bersama, saling membantu, dan menjalani aktivitas sosial yang sama.
Mungkin terdengar mengerikan, tetapi inilah fakta yang terungkap lewat struktur argumentasi matematika. Kita hidup di tengah realitas itu. Kita bercengkrama, mungkin jatuh cinta, bahkan menikah tanpa tahu bahwa di sisi lain ada yang berjuang melawan penyakit mematikan ini. Tak jarang, seorang perempuan yang hanya berhubungan dengan suaminya pun bisa positif HIV. Sungguh memilukan.
Semua ini hanya bisa dilawan dengan pendidikan.
Semua ini hanya bisa dilawan dengan empati.
Semua ini hanya bisa dilawan dengan penegakan hukum yang tegas.
Semua ini hanya bisa dilawan dengan kecerdasan dan kesadaran sosial dari setiap insan.
Fenomena ini bukan hal yang patut kita abaikan. Tidak ada ruang untuk mendiskriminasi mereka yang sudah positif HIV. Tulisan ini adalah upaya menjaga hak dan martabat setiap manusia, serta mengawali sikap hidup yang konkret untuk menekan laju pertumbuhan kasus HIV/AIDS.
Penyandang HIV tetaplah bagian dari masyarakat. Hak mereka sebagai warga negara tetap melekat hingga akhir hayat.
Namun, memusuhi profesi laknat—bukan manusianya—adalah tanggung jawab kita sebagai bangsa yang beradab.(MK/*)