Edi Irawan: “Kalau Sekadar Buka Naskah Akademik Harus Sidang Berbulan-Bulan, Ada yang Sakit di Birokrasi Kita”

Pangkalpinang – Menjelang pembacaan putusan sengketa informasi publik di Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Selasa (23/9/2025), Edi Irawan, selaku pemohon, tak mampu menutupi kekesalannya terhadap sikap Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dinilainya berbelit-belit. Sengketa ini bermula dari permintaan sederhana: membuka Naskah Akademik RTRW dan Naskah Akademik RZWP3K. Namun, hingga persidangan memasuki tahap akhir, jawaban Pemprov justru dinilai tidak konsisten. Senin (22/9/2025).

Dalam wawancara dengan awak media, Edi dengan nada geram menyebut birokrasi di Babel “seperti labirin yang sengaja dibangun untuk menyesatkan masyarakat.” Ia menilai, pejabat publik seolah-olah ingin memperlihatkan dirinya pintar, padahal justru menutup-nutupi hal mendasar yang menjadi hak warga masyarakat.

“Kalau sekadar membuka naskah akademik saja harus bersidang berbulan-bulan, berarti ada yang sakit di tubuh birokrasi kita. Ini bukan sekadar malas, tapi sudah kelewat batas. Mereka digaji untuk melayani publik, bukan untuk mempermainkan publik,” ujarnya tajam.

Menurut Edi, dalam persidangan terlihat jelas adanya inkonsistensi jawaban dari pihak termohon. Pada sidang pertama, kuasa Pemprov mengakui dokumen yang dimohonkan belum terdokumentasi. Namun, pada sidang berikutnya, keterangan itu berbalik: naskah akademik disebut tidak wajib ada, dan digantikan istilah Materi Teknis serta Dokumen Final.

“Kalau tidak tahu hukum, sebaiknya belajar. Kalau pura-pura tidak tahu, itu namanya menipu publik. Undang-Undang jelas mewajibkan setiap perda punya naskah akademik. Kecuali perda yang tidak menyangkut sumber daya dan kondisi alam tempat masyarakat itu tinggal. Lantas kenapa Pemprov malah berkilah dengan istilah teknis yang membingungkan? Jangan bodohi rakyat dengan permainan kata. Dalam dokumen itu pula, kami tidak melihat kajian ilmiah yang dapat ditelusuri. Menjawab setiap alasan perda itu lahir. Terlebih lahirnya itu pula ‘dipersenjatai’ dgn sanksi pidana,” tegasnya.

Edi menambahkan, birokrasi yang sehat seharusnya memudahkan akses informasi, bukan mempersulitnya. Ia menyebut keterbukaan informasi adalah fondasi kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah. “Kalau dokumen akademik saja publik tidak dapat melihatnya, apa lagi yang akan ditutupi? Jangan sampai publik hanya dijadikan penonton kebijakan tanpa tahu dasar pemikirannya,” tungkas Edi saat diwawancara.

Menjelang pembacaan putusan, Edi berharap majelis komisioner benar-benar obyektif dalam menilai fakta persidangan. Ia menegaskan, permohonannya bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk membuka jalan agar masyarakat dapat mengawasi kebijakan pembangunan secara lebih transparan.

“Besok putusan akan dibacakan. Kalau gugatan ini ditolak, artinya kita semua sedang dipaksa hidup dalam sistem yang gelap. Tapi kalau dikabulkan, ini pintu kecil menuju peradaban baru. Sikap hukum yg memberi karpet merah bagi setiap warga untuk mencapai kecerdasan baru,” ujarnya menutup wawancara dengan pandangan yakinnya.

Kini, publik Babel menunggu hasil akhir dari sidang yang telah menyedot perhatian banyak kalangan ini. Putusan Komisi Informasi akan menjadi penanda: apakah transparansi informasi di daerah Bangka Belitung benar-benar dijalankan, atau sekadar jargon kosong yang terus dipelihara di atas meja birokrasi yang tidak bertanggung jawab. (MK/*)