Daerah  

Edi Irawan: Keterbukaan Informasi Hak Publik, Bukan Pilihan Pejabat

PUDING BESAR — Aktivis sosial sekaligus penggiat keterbukaan informasi, Edi Irawan ST, kembali menegaskan komitmennya dalam memperjuangkan hak masyarakat atas akses informasi. Hal itu ia sampaikan dalam forum bertajuk Ngaji Hukum: Memahami Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, yang digelar oleh Majelis Taklim Berkumpul di Desa Puding Besar, Sabtu (26/7/2025).

Forum ini diikuti peserta dari 11 desa di Kabupaten Bangka, termasuk Desa Mabat, Kemuja, Sleman, dan Dalil. Berbeda dari kajian biasanya yang mengupas kitab klasik Al-Hikam, kali ini majelis memperluas ruang kajian ke persoalan hukum negara, khususnya isu keterbukaan informasi publik.

Dalam pemaparannya, Edi menjelaskan bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 merupakan instrumen penting dalam mendorong partisipasi masyarakat dan reformasi birokrasi. Namun, ia menyayangkan lemahnya implementasi regulasi tersebut di berbagai institusi pemerintahan.

“UU ini seharusnya menjadi taman bagi tumbuhnya pikiran kritis masyarakat. Tapi setelah 17 tahun diberlakukan, banyak pejabat publik tampaknya lupa—atau sengaja melupakan kewajibannya,” ujar Edi di hadapan para peserta.

Ia mengaku masih banyak menemukan badan publik di Bangka Belitung yang bersikap tertutup, bahkan kerap mempersulit akses informasi yang seharusnya terbuka bagi publik.

“Banyak instansi berdalih tidak tahu prosedur. Padahal, mereka wajib tahu. Ini bukan semata soal ketidaktahuan, tapi soal niat untuk tidak transparan,” tegasnya.

Edi menekankan pentingnya edukasi hukum kepada masyarakat agar publik menyadari hak-haknya, termasuk hak untuk tahu arah kebijakan dan penggunaan anggaran negara.

“Setiap kebijakan yang dibiayai oleh APBN maupun APBD adalah informasi publik. Tidak bisa ditutup-tutupi,” tandasnya.

Dalam forum tersebut, Edi juga mengajak kalangan pesantren dan majelis taklim untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai hukum negara. Menurutnya, kedua hal tersebut sejatinya saling melengkapi jika berlandaskan pada keadilan dan kemaslahatan umat.

“Diskusi seperti ini adalah hal yang sangat berharga. Terima kasih kepada panitia, khususnya Saudara Adi dan tim, yang telah menginisiasi kegiatan ini. Kajian hukum seperti ini seharusnya menjadi budaya, bukan sekadar seremoni,” ujarnya.

Edi turut mengingatkan bahwa proses lahirnya UU KIP bukanlah jalan instan, melainkan hasil perjuangan panjang masyarakat sipil sejak era reformasi.

“Butuh sembilan tahun sejak reformasi untuk melahirkan UU ini. Ini bukan undang-undang sembarangan. Jangan anggap remeh,” tambahnya sambil tersenyum.

Menutup diskusi, Edi menyerukan kepada pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, agar lebih mendukung gerakan literasi hukum dan keterbukaan informasi.

“Kita butuh lebih banyak pemuda yang berani bersuara dan siap berdiri di barisan rakyat. Informasi publik adalah hak, bukan belas kasih penguasa,” pungkasnya. (MK)