Edi Irawan vs Pemprov Babel Berlanjut hingga Kasasi, Pengacara BM: Putusan PTUN Sarat Kejanggalan

Pangkalpinang — Langkah hukum Edi Irawan melawan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum berhenti. Setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pangkalpinang menolak gugatannya, kini perkara tersebut naik ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Minggu (12/10/2025).

Kuasa hukum Edi, Bujang Musa, S.H., atau akrab disapa Pak BM, menyampaikan kekecewaannya terhadap putusan PTUN yang dinilai mengabaikan fakta hukum yang muncul selama persidangan.

“Persoalan ini sebenarnya sederhana. Esensi permohonan bukan pada batas peta administrasi dari BIG, tetapi pada produk tata ruang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Babel. Sayangnya, majelis hakim justru menafsirkan lain,” tegas BM saat ditemui awak media.

Ia menyebut, putusan PTUN dengan Nomor Perkara 5/G/KI/2025/PTUN.PGP tidak hanya mengecewakan, tetapi juga menyisakan banyak tanda tanya.

“Dalam pembuktian di sidang PTUN, saksi ahli bernama M. Yunus bahkan menarik kembali seluruh keterangannya yang pernah disampaikan di Komisi Informasi. Artinya, putusan KI sudah cacat hukum. Tapi entah mengapa, hal ini seolah diabaikan oleh majelis hakim,” ujar BM dengan nada tajam.

BM menilai ada indikasi bahwa pertimbangan hukum hakim justru menabrak prinsip keadilan dan prosedur hukum yang seharusnya dijunjung tinggi. Ia berharap langkah kasasi ini bisa menjadi momentum koreksi bagi lembaga peradilan di Indonesia, khususnya di Bangka Belitung.

“Kasihan para pencari keadilan jika institusinya sendiri yang melemahkan sendi kepercayaan publik,” tuturnya.

Perjuangan Panjang Edi Irawan

Perjalanan hukum Edi Irawan bukan tanpa pengorbanan. Sejak beberapa tahun terakhir, ia berjuang keras untuk memperoleh akses terhadap data publik yang seharusnya terbuka bagi masyarakat. Ia bolak-balik menghadiri sidang di Komisi Informasi, lalu berlanjut ke PTUN, dan kini harus menempuh kasasi ke Mahkamah Agung.

“Ini bukan soal saya pribadi. Setiap putusan yang mengabulkan permohonan informasi publik seharusnya berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Edi.

Ia menilai, sulitnya mengakses data tata ruang menunjukkan bahwa masih ada mentalitas birokrasi yang enggan transparan.

“Sebagai masyarakat yang bersengketa dengan pemerintah daerah, saya belajar bahwa di negeri sendiri ternyata sulit untuk menjadi pintar. Dua kali kita menang di Komisi Informasi, tapi pemerintahnya masih belum mau berbenah,” ujar Edi dengan nada getir namun tegas.

Meski begitu, ia tetap optimistis menghadapi kasasi.

“Baik atau buruk hasilnya, kita siap menerima. Kalau masih ada hak yang hilang, kita gugat lagi. Ini baru pemanasan,” ucapnya sambil tersenyum.

Refleksi dan Harapan

Bagi Edi, perjuangan ini bukan sekadar perlawanan hukum, melainkan bentuk pendidikan publik tentang pentingnya keterbukaan informasi. Ia meyakini bahwa dengan ilmu pengetahuan dan kesadaran hukum, masyarakat bisa melawan ketidakadilan secara bermartabat.

“Di Komisi Informasi saja saksi bisa dihadirkan tanpa sertifikat keahlian, bahkan ada saksi yang diduga ‘diselundupkan’. Tapi inilah dinamika. Semua ini saya jalani agar publik tahu bahwa kebenaran tidak boleh berhenti di ruang sidang,” tuturnya dengan nada bercampur antara satire dan keyakinan.

Kisah Edi Irawan menjadi cermin baru bagi Bangka Belitung, bahwa perjuangan seorang warga bisa membuka mata publik tentang arti sesungguhnya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Sebab pada akhirnya, keterbukaan informasi adalah hak, bukan hadiah. (MK/*)