Sungai Selan (Bangka Tengah) – Aktivitas jual beli pasir timah ilegal kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, sorotan publik tertuju pada sebuah rumah di Desa Keretak, Kecamatan Sungai Selan, Kabupaten Bangka Tengah, yang diduga kuat menjadi lokasi transaksi antara penambang rakyat dengan seorang kolektor bernama Kasandra.
Hasil investigasi di lapangan pada Senin (15/9/2025) menunjukkan bahwa rumah Kasandra kerap didatangi para penjual timah. Sejumlah sumber menyebut, transaksi di lokasi tersebut sudah berlangsung lama dan terkesan kebal hukum. Bahkan, ada dugaan aliran “upeti” kepada pihak tertentu sehingga aktivitas tersebut berjalan lancar tanpa sentuhan aparat.
Sumber Anonim: Kolektor Diduga Dapat Perlindungan
Seorang sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan mengungkapkan, bisnis pasir timah ilegal Kasandra bukan hal baru. “Kalau Sandra bebas membeli timah di rumahnya itu, karena ada dukungan dari orang-orang kuat di lapangan. Bahkan disebut-sebut Kasandra adalah anak buah Kapolsek Sungai Selan,” ungkap sumber itu kepada awak media (16/9/2025).
Sumber tersebut juga menambahkan bahwa dominasi Kasandra membuat penjual kecil kesulitan menjual hasil tambangnya. “Saking ramainya, kami tidak mendapatkan timah lagi. Semua diambil oleh Kasandra,” keluhnya.
Bukti Chat: Dugaan Keterlibatan Oknum Aparat
Dugaan lain yang memperkuat aroma bisnis gelap ini muncul dari tangkapan layar percakapan WhatsApp yang beredar. Dalam chat tersebut, terlihat percakapan yang menyinggung dugaan keterlibatan oknum aparat kepolisian.
“Anggota Polsek beli timah Gale,” tulis salah seorang pengirim pesan yang kemudian ditanggapi dengan emotikon tertawa oleh lawan bicaranya.
“Pasti aman la BG berita tu.. langsung be hubungi kapolsek,” lanjut percakapan itu.
Pesan lain yang juga muncul dalam percakapan berbeda menyinggung soal posisi Kasandra yang dianggap dominan.
“Asli Casandra ni ramai drmh a. Org nganter timah a antri saking ramai a,” tulis salah satu pesan.
“Penguasa seputaran Kecamatan Sungai Selan tu bg,” balas narsum.
Sumber yang memperlihatkan tangkapan layar tersebut menegaskan bahwa informasi ini menggambarkan betapa sulitnya memberantas jaringan kolektor ilegal yang diduga mendapat perlindungan.
Upaya Konfirmasi Masih Berjalan
Meski dugaan ini kian menguat, hingga kini awak media masih mengupayakan konfirmasi resmi kepada Kapolres Bangka Tengah, AKBP Dr. I Gede Nyoman Bratasena, S.I.K., M.I.K. Namun, permintaan klarifikasi tersebut belum mendapatkan tanggapan.
Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan publik: apakah hukum benar-benar berlaku setara bagi semua, atau ada pihak-pihak yang kebal dari penindakan?
Satgas PT Timah: Kolektor Ilegal Musuh Bersama
Isu mengenai kolektor timah ilegal sejatinya sudah menjadi perhatian serius PT Timah Tbk dan Satgas Nanggala. Ketua Satgas, Mayjen (Purn) TNI Handy Geniardi, menyebutkan bahwa kolektor ilegal adalah simpul utama peredaran timah gelap di Bangka Belitung. Bahkan, data Satgas mencatat ada delapan kolektor ilegal di Bangka dan empat di Belitung yang dilaporkan ke Kejaksaan Agung.
Direktur Utama PT Timah, Restu Widiyantoro, juga menegaskan bahwa kolektor ilegal merupakan musuh bersama. Namun, pemberantasannya disebut tidak mudah karena adanya dukungan dari pihak di luar kewenangan PT Timah maupun Satgas.
Perspektif Hukum: Jelas Ada Pelanggaran
Jika merujuk pada kerangka hukum, aktivitas yang diduga dilakukan Kasandra jelas melanggar undang-undang. Setidaknya terdapat beberapa regulasi yang dilanggar, antara lain:
1. Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP) dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
2. Pasal 480 KUHP mengenai penadahan, karena membeli atau menguasai barang hasil kejahatan dapat dipidana. Dalam konteks ini, kolektor yang membeli timah dari penambangan ilegal berpotensi dijerat pasal tersebut.
3. Pasal 55 KUHP yang mengatur pihak-pihak yang turut serta atau membantu dalam tindak pidana, termasuk jika terbukti adanya keterlibatan oknum aparat.
Dengan kata lain, jika dugaan keterlibatan oknum aparat benar, maka hal tersebut bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan masuk kategori tindak pidana serius.
Pertanyaan Publik: Hukum untuk Siapa?
Kasus dugaan kolektor pasir timah di rumah Kasandra membuka kembali perdebatan publik mengenai efektivitas penegakan hukum di Bangka Belitung. Apakah hukum hanya berlaku bagi penambang kecil, sementara kolektor besar tetap bebas menjalankan bisnisnya?
Fenomena ini seolah menegaskan adanya “dua wajah hukum” di negeri timah. Satu sisi aparat menindak penambang rakyat kecil, namun di sisi lain kolektor dengan jaringan kuat justru dibiarkan.
Penutup
Kasus di Desa Keretak menunjukkan bahwa pemberantasan tambang ilegal bukan sekadar soal alat berat atau aktivitas di lokasi tambang, melainkan juga menyangkut rantai pasok dan peran kolektor. Tanpa keberanian menindak kolektor besar serta menelusuri dugaan keterlibatan aparat, praktik ini akan terus berlangsung.
Hingga berita ini diturunkan, pihak awak media masih berusaha mendapatkan konfirmasi resmi dari Kapolres Bangka Tengah terkait dugaan aktivitas ilegal di rumah Kasandra. Publik kini menunggu, apakah aparat benar-benar serius menindak atau kembali membiarkan bisnis gelap ini terus berjalan. (MK/*)