Mendiktisaintek Bersama PT Timah Percepat Hilirisasi Rare Earth Demi Kedaulatan Sumber Daya

PANGKALPINANG — Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Prof. Brian Yuliarto, Ph.D., melakukan kunjungan kerja ke lokasi-lokasi strategis PT Timah Tbk di Provinsi Kepulauan Bangka pada Rabu (17/9/2025). Kunjungan ini bertujuan meninjau langkah-langkah nyata pengembangan logam tanah jarang—atau rare earth—yang menjadi fokus prioritas di Indonesia.

Didampingi Direktur Utama PT Pindad, Sigit P. Santoso, rombongan Mendiktisaintek menyambangi Pilot Plant RE(OH) di Tanjung Ular dan fasilitas pemrosesan dan penyulingan (refinery) PT Timah Tbk di Mentok, Bangka Barat. Mereka juga mendatangi Amang Plant, sebuah unit khusus yang menangani mineral ikutan timah, serta area penimbunan terak II. Tur ini turut diikuti Direktur Utama PT Timah, Restu Widiyantoro, dan Direktur Pengembangan Usaha, Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara.

Prof. Brian menyampaikan apresiasi tinggi kepada PT Timah yang telah melangkah maju dalam mengembangkan rare earth—minerai yang kini menjadi komoditas global penting. Ia menyebut bahwa kekayaan mineral ini bukan hanya potensi ekonomi, tetapi juga aset kedaulatan bagi Republik Indonesia.

“Kita diarahkan oleh Presiden untuk tidak hanya menambang, tetapi memanfaatkan mineral ini secara optimal,” ujar Prof. Brian. Ia menekankan bahwa pengelolaan rare earth harus mencakup seluruh tahapan: dari eksplorasi, pemisahan, hingga produk hilir, agar nilai tambahnya maksimal.

Sejak tahun 2016, PT Timah telah mulai melakukan estimasi cadangan rare earth di Tanjung Ular. Saat ini, persiapan terus diperkuat agar mineral ini benar-benar bisa menjadi kekayaan bangsa yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Prof. Brian berharap Indonesia bisa segera menguasai teknologi pemurnian dan pemisahan, sehingga produk hilir menjadi nyata dan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan.

Sementara itu, Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara menjelaskan bahwa PT Timah telah menerapkan model kolaboratif triple helix: kerja sama antara pemerintah, universitas, dan industri. Salah satu mitra riset yang disebut adalah Institut Teknologi Bandung, yang terlibat dalam desain penelitian terpadu—mulai dari eksplorasi, pemrosesan logam tanah jarang, hingga pemanfaatan slag dari produksi timah.

PT Timah berharap dukungan kebijakan semakin kuat, terutama dalam jaminan pasokan bahan baku mineral yang berkelanjutan. Selain itu, mereka juga memerlukan kemitraan strategis, penyediaan fasilitas penelitian dan uji laboratorium, serta akselerasi transfer teknologi agar hilirisasi rare earth bisa berjalan cepat dan efektif.

Prof. Brian menegaskan bahwa masa depan pengembangan rare earth adalah lompatan bagi bangsa. Dengan teknologi dan regulasi yang tepat, Indonesia akan mampu menempatkan diri sebagai pelopor dalam pemurnian dan pengolahan mineral ikutan, serta memperkuat posisi dalam industri global. Dukungan semua pihak sangat krusial agar potensi alam ini benar-benar terwujud menjadi kekuatan ekonomi dan kemajuan kesejahteraan rakyat. (MK/*)