Bangka Belitung – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) kembali menjadi sorotan. Bukan karena panorama alamnya yang memukau, melainkan lantaran pusaran masalah yang seolah tak ada ujung. Dari denyut ekonomi yang melambat, pertambangan timah rakyat yang kian terpuruk, hingga hadirnya Satgas Timah yang baru saja tiba—semuanya menyisakan tanda tanya besar: ke mana arah Babel akan dibawa?

Secara ekonomi, Babel sedang merintih. Data dari berbagai media menunjukkan perlambatan pertumbuhan akibat ketergantungan berlebihan pada sektor tambang. UMKM yang diharapkan jadi penyangga justru terseok menghadapi inflasi dan keterbatasan akses pasar. Di tingkat lokal, harga-harga naik tanpa kendali, sementara daya beli masyarakat stagnan. Banyak nelayan mengeluh, hasil laut mereka tak lagi menjadi komoditas utama di meja kebijakan.
Namun denyut paling keras terasa di sektor timah. Pertambangan rakyat, yang dulu dianggap sebagai “urat nadi” perekonomian masyarakat bawah, kini berada dalam bayang-bayang ketidakpastian. Ratusan ponton tambang rakyat di sungai dan laut terombang-ambing, antara regulasi yang tumpang tindih dan aparat yang kadang menutup mata, kadang mengetatkan kunci. Di tengah keruwetan itu, Satgas Timah baru saja mendarat di Babel. Kehadirannya digadang sebagai jalan keluar atas praktik ilegal dan kerugian negara. Tetapi masyarakat bertanya: apakah satgas ini akan benar-benar membersihkan, atau sekadar menambah satu lagi lapisan kuasa di atas penderitaan rakyat tambang?
Stabilitas keamanan pun ikut dipertaruhkan. Beberapa media lokal melaporkan gesekan di lapangan antara aparat dan penambang rakyat. Isu-isu kriminalitas yang meningkat, dari perdagangan gelap timah hingga peredaran narkoba di kawasan tambang, memperlihatkan betapa rapuhnya benteng sosial di Babel saat ini. Di tengah kondisi tersebut, pemerintah daerah tampak sibuk dengan agenda seremonial, alih-alih merumuskan solusi struktural.
Kehadiran Babel dalam lanskap nasional dan internasional sebenarnya strategis. Dunia memerlukan timah untuk industri teknologi, dari chip komputer hingga kendaraan listrik. Namun ironinya, Babel sebagai penghasil utama justru menyisakan paradoks: masyarakat lokal hidup di bawah garis kecukupan, lingkungan rusak parah, dan tata kelola tambang lebih mirip ladang perebutan kuasa ketimbang instrumen kesejahteraan.
Kini publik menunggu: apakah Satgas Timah benar-benar membawa harapan atau hanya mengulang pola lama—tegas di awal, kompromi di tengah, mandek di ujung? Babel sedang berada di persimpangan jalan. Tanpa keberanian politik dan kejujuran birokrasi, masa depan provinsi ini akan terus ditulis dengan tinta keprihatinan.
Babel butuh lebih dari sekadar satgas. Ia butuh negara hadir sepenuhnya, dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan pada oligarki. Sebab jika tidak, Babel hanya akan menjadi catatan kaki dalam buku besar republik: kaya sumber daya, miskin kendali, dan terlupakan di panggung sejarah. (Redaksi/*)
Tentang Penulis
Mung Harsanto, S.E., adalah seorang jurnalis aktif yang memiliki sertifikasi kompetensi wartawan dari DEWAN PERS dengan nomor UKW: No.91748-UPNYK/Wda/DP/VI/2024 dan memegang beberapa posisi penting di dunia media online, antara lain:
– Kepala Kantor Berita Online Bangka Belitung (KBO BABEL)
– Wakil Ketua DPD Babel Pro Jurnalismedia Siber (PJS)
– Pemimpin Redaksi di matakasus.com & lawangpos.com
– Koordinator Liputan di babeltoday.com dan Managing Editor di detikbabel.com
– Kepala Perwakilan (Kaperwil) Pangkalpinang di sidhiberita.com
– Sekjen Perkumpulan Tim Sembilan Jejak Kasus (T9JK)
Aktivitas dan Kontribusi:
Mung Harsanto dikenal aktif menulis berita dan opini kritis terkait isu politik, ekonomi, dan sosial di Babel. Ia konsisten menjaga integritas jurnalisme, membongkar praktik penyalahgunaan kekuasaan, sekaligus menyuarakan aspirasi masyarakat kecil. (*)