Putusan Sidang KI Babel: Edi Pertanyakan 3 Saksi ‘Siluman’ 

Pangkalpinang — Suasana ruang sidang Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada agenda pembacaan putusan sengketa informasi nomor 004/VIII/KIP-BABEL/2025, Selasa (23/9), menyisakan tanda tanya besar. Sidang terkait permohonan Edi Irawan ST atas akses Naskah Akademik RTRW dan RZWP3K menghasilkan putusan “dikabulkan sebagian”. Majelis Komisioner memerintahkan pihak termohon, Pemprov Babel, menyerahkan salinan Materi Teknis RTRW dan Dokumen Final RZWP3K dalam jangka waktu 14 hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Selasa (23/9/2025).

Namun, alih-alih menyelesaikan pokok sengketa, putusan tersebut justru memunculkan polemik baru. Menurut Edi, langkah majelis komisioner tidak konsisten dan bahkan berpotensi menimbulkan maladministrasi.

“Lucu sekaligus membingungkan. Di awal sidang, pihak termohon menyatakan dokumen itu belum terdokumentasi. Pada sidang berikutnya, enam orang yang dikuasakan oleh Pemprov yang hadir pun tidak mampu menunjukkan dasar hukum peralihan dari Naskah Akademik ke Materi Teknis. Tapi putusannya malah keluar seperti ini. Sidang terasa seperti pertunjukan komedi,” ujar Edi dengan nada kesal.

Yang lebih mengejutkan, Edi menduga majelis komisioner telah “menyelundupkan” tiga orang saksi dalam amar putusan. Nama Nurmansyah dari Bappeda, Wawan dari DKP, dan Fhores dari DKP tercatat sebagai saksi pihak termohon pada putusan nomor 004/PTS/-A/VIII/2025. Padahal, berdasarkan Surat Kuasa Nomor 555/0006/DISKOMINFO yang ditandatangani Sekda Babel, hanya enam orang diberi kewenangan: Ahmad, Ria, Wawan, Hasti, Nurmansyah, dan Fhores.

“Ini jelas aneh. Dari kuasa yang ada, mereka seharusnya berposisi sebagai penerima mandat, bukan saksi. Maka kami melaporkan dugaan perbuatan melawan hukum ini ke Ombudsman Babel. Tinggal menunggu putusan maladministrasi. Setelah itu kami siap menempuh jalur PTUN. Persidangan jangan diperlakukan seperti mainan,” tegas Edi.

Sosok Edi sendiri dikenal sebagai aktivis muda asal Bangka Belitung yang kerap vokal dalam isu keterbukaan informasi publik. Ia menjadi representasi perlawanan masyarakat sipil terhadap arogansi birokrasi yang dianggap mengabaikan hak warga atas informasi.

Perlawanan Edi menegaskan bahwa sengketa informasi bukan sekadar soal dokumen, melainkan tentang prinsip pelayanan publik yang akuntabel. Dalam konteks ini, keberaniannya membuka ruang diskusi baru bagi masyarakat Babel mengenai pentingnya transparansi tata kelola pembangunan. (MK/*)