Tambang Ilegal Tembelok: Tokoh Lokal Jadi Bandar, Hukum Tak Bertaring

Bangka Barat — Laut yang sempat tenang kini kembali riuh oleh deru mesin ponton. Sejak dua hari terakhir, perairan Tembelok, Kecamatan Mentok, Bangka Barat, dipadati ratusan tambang timah ilegal. Aktivitas berlangsung terang-terangan, tanpa satu pun aparat menghentikan. Minggu (14/9/2025).

Di balik keramaian itu, nama AL, seorang nelayan sekaligus tokoh masyarakat setempat, disebut-sebut sebagai pengendali operasi. Dengan reputasi sosialnya, ia membangun mekanisme setoran yang dipaksakan kepada para penambang.

Skemanya sederhana tapi keras: setiap ponton wajib menyetor jatah kampung—25 persen keuntungan, plus Rp15 ribu per kepala keluarga—sementara sisanya kembali mengalir ke kantong AL. “Kalau tidak setor, risiko besar. Semua orang di sini tahu,” ujar seorang sumber internal.

Dalih solidaritas warga tak lebih dari kedok pungutan liar. Praktik ini memberi AL kontrol penuh atas distribusi hasil tambang, sekaligus menjadi sarana memperkuat pengaruhnya. Para penambang memang bebas menjual timah ke kolektor mana saja, tetapi tak seorang pun berani melanggar aturan tak tertulis itu.

Padahal, hukum jelas menyatakan aktivitas ini kejahatan berat. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba Pasal 158 menegaskan: penambangan tanpa izin diancam pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Lebih jauh, pungutan ala “jatah kampung” masuk kategori tindak pidana korupsi menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, karena memanfaatkan jabatan dan pengaruh untuk keuntungan pribadi maupun kelompok.

Bahaya lain pun mengintai. Sistem setoran kian memicu ketegangan antarpenambang, terutama kelompok yang merasa dibebani pungutan berlebihan. Konflik horizontal hanya menunggu waktu.

Dari sisi ekologi, kerusakan laut kian tak terbendung. Tanpa kajian lingkungan, ponton-ponton itu mengancam habitat ikan, merusak terumbu karang, dan mematikan mata pencaharian nelayan tradisional.

Yang paling mencolok: diamnya aparat penegak hukum. Aktivitas ilegal ini berlangsung terang-terangan di wilayah publik, namun tidak ada satu pun tindakan. Publik mulai berspekulasi, ada pembiaran—bahkan keterlibatan—dari oknum yang turut menikmati setoran.

Jika dibiarkan, tambang ilegal Tembelok bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan penghancuran tatanan sosial dan simbol gagalnya negara menegakkan aturan.

Tanpa langkah hukum yang tegas, perairan Tembelok akan terus menjadi panggung eksploitasi liar: ponton merajalela, pungli dilegalkan, dan hukum dibiarkan ompong. (MK/*)