Tambang Timah Ilegal di Belakang Gudang Sosro Diduga Dikoordinir Inisial A

Oplus_131072

Pangkalan Baru — Aktivitas tambang timah ilegal kembali menjadi sorotan publik. Sabtu siang (20/9/2025), dua unit alat berat jenis excavator terlihat beroperasi di kawasan belakang eks gudang Sosro, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Dari pantauan di lokasi, alat berat tersebut tampak menggali timbunan pasir yang diduga mengandung bijih timah. Sabtu (20/9/2025).

Informasi yang dihimpun menyebutkan, kegiatan tambang itu diduga kuat dikoordinir oleh seorang berinisial A. Figur ini disebut-sebut memiliki jaringan luas dalam bisnis timah dan kerap kebal dari penindakan hukum. Sumber lapangan menyebutkan, meskipun aktivitas tersebut terang-terangan berlangsung, aparat dan instansi terkait seakan menutup mata.

Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap kegiatan pertambangan wajib memiliki izin resmi berupa IUP, IPR, atau IUPK. Tanpa izin tersebut, aktivitas eksploitasi sumber daya alam dikategorikan sebagai tindak pidana. Pasal 158 UU Minerba dengan tegas menyebutkan, pelaku penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.

Selain itu, keberadaan Satgas Penertiban Tambang Timah Ilegal yang dibentuk pemerintah pusat dan PT Timah bersama aparat penegak hukum seolah tidak memberi efek jera. Fakta di lapangan menunjukkan, operasi tambang ilegal masih berjalan mulus, bahkan menggunakan alat berat berkapasitas besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik: apakah ada pembiaran sistematis atau praktik “setoran” yang membuat aktivitas ilegal tetap langgeng?

Praktik tambang tanpa izin tidak hanya merugikan negara dari sisi penerimaan pajak dan royalti, tetapi juga berdampak langsung terhadap lingkungan. Lahan bekas galian di belakang gudang Sosro kini terlihat menganga luas, meninggalkan tumpukan pasir dan kubangan berair yang berpotensi menjadi sumber penyakit bagi warga sekitar.

Sejumlah aktivis lingkungan menilai, lemahnya pengawasan dan penindakan justru memperparah kerusakan alam di Bangka Belitung. “Kalau dibiarkan, ini preseden buruk. Negara dirugikan, rakyat hanya mendapat dampak lingkungan, sementara segelintir orang kaya raya,” ujar salah satu pemerhati lingkungan yang enggan disebutkan namanya.

Sementara itu, aparat penegak hukum diminta tidak tebang pilih dalam menindak kasus tambang ilegal. Sesuai dengan KUHP Pasal 55 dan 56, pihak yang turut serta, memberi perintah, atau memfasilitasi tambang ilegal juga bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Artinya, tidak hanya operator lapangan, tetapi juga koordinator berinisial A bisa dijerat hukum bila terbukti menjadi aktor intelektual.

Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen Satgas Timah dan aparat di Bangka Belitung. Publik kini menanti langkah nyata, apakah hukum benar-benar tajam ke atas atau justru kembali tumpul menghadapi tambang timah ilegal yang dikoordinir orang-orang berpengaruh. (MK/*)