Pangkalpinang, matakasus.com – Digitalisasi pengadaan barang dan jasa melalui LPSE seharusnya menjadi tameng bagi pemerintah dalam menutup ruang praktik curang. Namun, di balik sistem yang serba transparan itu, jejak dugaan penyimpangan justru kembali terendus dalam proyek Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang tahun 2025. Senin (18/8/2025)
Indikasi pelanggaran muncul dalam dua paket pekerjaan pembangunan Puskesmas Pembantu (Pustu) Melintang dan Pustu Ampui. Keduanya dimenangkan oleh perusahaan yang sama, PT. DJB asal Palembang, dengan nilai penawaran masing-masing Rp 870.170.598,27 dan Rp 869.885.630,37. Yang lebih janggal, kedua proyek ini memiliki pagu dan HPS identik: Rp 875 juta.
Potensi Pelanggaran Aturan Lelang
Ketentuan pengadaan yang berlaku merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya, serta Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018.
Pasal 6 Perpres 16/2018 menegaskan, pengadaan barang/jasa harus dilaksanakan berdasarkan prinsip:
1. efisien,
2. efektif,
3. transparan,
4. terbuka,
5. bersaing,
6. adil/tidak diskriminatif, dan
7. akuntabel.
*Pasal 7 ayat (1) Perpres 16/2018
menegaskan, setiap pelaku pengadaan wajib mematuhi etika pengadaan, termasuk:
bekerja secara profesional, mandiri, jujur, dan menjaga kerahasiaan dokumen;
menghindari konflik kepentingan;
tidak saling memengaruhi yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat;
mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara.
Dengan demikian, penetapan pemenang ganda untuk perusahaan yang sama, tanpa bukti sah kemampuan mengerjakan dua proyek sekaligus, diduga bertentangan dengan prinsip dasar pengadaan tersebut.
*Dimensi Hukum Pidana (UU Tipikor)
Jika dugaan penyimpangan ini benar adanya, maka kasus tidak berhenti pada pelanggaran administrasi semata. Ada potensi masuk ranah pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pasal 3 UU Tipikor berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.”
Artinya, jika terbukti ada rekayasa atau pembiaran dalam penetapan pemenang ganda, maka unsur penyalahgunaan kewenangan dan potensi kerugian negara bisa masuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
Sikap Bungkam Pokja
Hingga berita ini diturunkan, klarifikasi dari ULP Kota Pangkalpinang maupun Dinas Kesehatan belum diperoleh. Sementara itu, Wira, salah satu anggota Pokja Pemilihan yang menjadi kunci dalam proses evaluasi lelang, memilih bungkam ketika dimintai tanggapan melalui pesan WhatsApp (7/8/2025).
Diamnya Pokja dalam situasi yang menuntut keterbukaan publik justru semakin mempertebal kecurigaan.
*Kesimpulan
Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun pengadaan sudah berbasis elektronik, celah penyimpangan masih terbuka. Bila tidak segera diusut, dugaan ini bisa menjadi preseden buruk bagi proses lelang di Pangkalpinang, sekaligus menurunkan kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menegakkan prinsip transparansi, persaingan sehat, dan pemberantasan KKN. (MK/*)